Puisi: Kesetiaan Pada Realitas

Air Mengukir Ikan
Karya Juniarso Ridwan

Terbit 2000 oleh Indonesia Tera | Binding: Paperback | ISBN: 9799375029 | Halaman: 76

SEPERTI karya sastra lainnya, puisi tidak dapat dipisahkan dari realitas. Realitas itu yang menginspirasi atau memberi bentuk pada puisi. Yang kumaksud dengan realitas ini bukan semata kejadian sehari-hari, tetapi juga termasuk ideologi, sistem sosial dan sistem politik yang ada, lalu konsep-konsep yang tumbuh menjadi tua dan sebagian mengikuti hukum pergeseran makna, begitu juga zaman, seperti juga kekuasaan dan peristiwa, datang dan pergi seraya meninggalkan jejak pada hukum dialektika perubahan. Puisi dengan setia mengikatkan diri pada satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini yakni perubahan itu sendiri. Para penulis puisi melibatkan diri, sedikit atau banyak, langsung atau berjarak, pada semua perubahan itu. Mereka juga menyaksikan, merefleksikan dan mencatat perubahan-perubahan itu.

Meskipun memang tidak semua realitas dapat jelas terlihat: bayangan tampak jika ada benda dan cahaya, selalu ada epifenomena di balik setiap fenomena. Esensi suatu perubahan biasanya terpahami kemudian dan kebenaran dari suatu kejadian atau peristiwa adalah lebih banyak yang tidak terungkapkan daripada yang dapat diungkapkan. Sebagian puisi di dalam dirinya memiliki kualitas (yang tidak dimiliki perangkat-perangkat pendekatan objektivisme-empiris) untuk melihat dengan jelas realitas: menjadi cahaya yang memungkinkan kita melihat bayangan, memasuki epifenomena, memahami suatu esensi perubahan bahkan ketika perubahan itu masih sedang berjalan, dan mengungkapkan yang tak terungkapkan.

Begitulah, ketika seseorang membaca puisi dan menemukan keterkaitan atau relevansi realitas dirinya dengan realitas yang ada pada puisi, pada saat itulah puisi telah ‘bekerja’. Ia telah mendaraskan suatu komunikasi dua arah. Melalui puisi, pembaca melepaskan diri mereka dari cengkeraman bahasa yang mengalaminya dan menemukan kembali kemampuannya untuk berkomunikasi dengan realitas.

Lewat bahasa yang disampaikan, puisi mengandung pengilhaman yang oleh karenanya seringkali digambarkan bahwa penulis puisi kerap harus menanggung beban kesunyian dan kesendirian, bersedia tanpa henti membersihkan kata-kata, ibarat tukang kebun merawat tanaman, menyingkirkan hama pada kelopak, daun dan tangkai-tangkainya, menyiraminya setiap pagi dan senja, menyimpannya dalam pot atau taman pemikiran.

Jika para pengunjung taman itu merasa terhibur, ia sudah cukup bahagia. Dan apabila ternyata terilhami, maka mereka, tukang kebun dan para pengunjung taman, sang penulis puisi dan para pembaca puisi itu, bersama-sama keluar dari takdir kebahasaan mereka sebagai tiran, untuk menemukan takdir yang lain. Takdir yang disepakati bersama.

Maka demikianlah pembacaanku dihantarkan pada puisi-puisi Juniarso Ridwan pada taman-taman pemikirannya, pada refleksinya akan perubahan yang terjadi di negeri ini, sejumlah kritik akan lingkungan, sosial, dan politik. Seolah Juniarso Ridwan bukan hanya membagikan ceritanya, tetapi ia telah mentransfer pemikirannya, perasaannya, yang kental nuansa kemanusiaannya. Bagi yang membacanya masih mudah merangkainya dengan membaca realitas yang sedang diulasnya.

Simak puisi yang dijadikan judul buku ini: “Air Mengukir Ikan”, dimana ia membagikan kehancuran alam, saat daratan terus mendengus karena pemanasan global dan air hanya bisa mengukir ikan-ikan. Ikan-ikan itu sendiri lenyap entah kemana.

bangkai radio itu telah menari bersama sungai,
melewati riwayat kematian kota-kota; dengan gulungan
kabel telah dihubungkan denyut masa depanku,
sebuah penantian yang tak berlimit waktu.

dimana-mana, air mengukir ikan, menerjemahkan
kepedihan demi kepedihan. Basahnya membakar lubuk,
mengasingkan pasir ke muara-muara yang jauh.

seperti dirundung berahi, daratan terus mendengus,
memburu biru laut. Air pun terus mengukir ikan.

Dengan semangat serupa, Juniarso menuliskan tentang kehancuran hutan-hutan tropis yang sempat kita banggakan dalam “Pohon-Pohon Gosong”

batu-batu bergerak meninggalkan musim
yang gerah, mendekati daun-daun gelisah
dihantam angin membara. Membusuk menebarkan
maut di antara sampah-sampah kota.

kaki-kaki perkasa – sepatu lars,
berjalan di lereng bukit, dengan siulan
menorehkan sejarah pada dinding
berlumut. Kampung-kampung sudah lama
dilupakan, tinggal almanak membeku
menyesali ladang yang sia-sia dipanen.

hanya patahan arang yang menyisakan kenangan,
orang-orang menjadi sangat asing di negerinya:
memandang laut seperti menyelami diri,
melukis derita dengan kucuran darah

hamparan peta lama, hanya pohon-pohon gosong,
untuk dibanggkan pada setiap percakapan

Di bagian akhir buku ini, ada tulisan Faruk yang dimaksudkan sebagai epilog. Tentang keberadaan para penyair di era informasi, dimana realitas yang hadir saling bertumpuk di saat yang sama. Saat kita makan, kita juga sedang melihat orang-orang ditembaki, dibom fosfor, dan sebagainya lewat televisi atau mendengarnya dari radio dan lain sebagainya. Realitas yang hiruk pikuk dan kondisi ini sebenarnya menyulitkan para penulis puisi untuk bekerja dalam diamnya, merumuskan pesan yang ia hendak tuliskan dalam puisi-puisinya.

Tapi aku percaya, para penulis puisi tak akan lelah dan tak akan berhenti melakukan itu semua. Mereka akan terus bertalian dengan realitas yang ada, menuliskan untuk kita, kisah-kisah menakjubkan yang memberikan inspirasi bagi kita bagaimana menghadapi hidup. Ini adalah doa seorang pembaca puisi. Semacam permohonan yang dipanjatkan demikian tulus. Semoga terkabulkan.

4/5

Tinggalkan komentar