Kafka menelanjangi kemanusiaan kita

Metamorfosis
Karya Franz Kafka

Terbit 2008 oleh Pustaka Homerian | Binding: Paperback | ISBN: – (isbn13: 9789791745437) | Halaman: 154

Penerjemah: Juni Liem

“Berapa besar toleransi cinta manusia kepada manusia lain? Apakah batasannya?”

PERTANYAAN-pertanyaan besar ini melingkupi cerita yang dengan begitu dahsyat dibuka oleh Franz Kafka dengan kalimat ini: Als Gregor Samsa eines Morgen aus unruhigen Träumen erwachte, fand er sich in seinem Bett zu einem ungeheuren Ungeziefer verwandelt.

Kata “ungeheure” diartikan makhluk raksasa, menakutkan, sedang “ungeziefer” bisa diartikan binatang kecil yang mengganggu, menjijikkan. Bisa jadi kumbang, kecoak, lalat. Dalam versi terjemahan Juni Liem ini, diterjemahkan menjadi: Di suatu pagi ketika Gregor Samsa terbangun dari mimpinya, dia menemukan dirinya telah berubah menjadi kutu yang besar. Di terjemahan yang lain seingatku pernah diterjemahkan menjadi kecoak raksasa (versi Bentang, entah kapan). Tapi itu semua tak soal. Intinya, Gregor Samsa menjadi binatang paling menjijikkan. (Diskusi paling menarik bisa diikuti di blog Sigit Susanto, orang yang paling menggilai Kafka bahkan sampai rela pergi ke makamnya. Ini alamat blognya http://membacakafka.blogspot.com

Saat seorang manusia bermetamorfosis menjadi mahluk seperti itu, yang berantena, makan makanan busuk, pertanyaan tadi kembali mengemuka: “berapa besar toleransi cinta keluarganya pada diri Gregor Samsa yang berubah?” Ternyata ayahnya begitu cepat menjadi jijik pada dirinya. Ibunya malah pingsan melihat dirinya. Sedang adiknya yang semula masih jatuh kasihan, tapi lama-lama sekitar sebulan kemudian tak tahan dan akhirnya menangis. Bahkan kemudian ia meminta ayah dan ibunya melupakan bahwa mereka punya kakak bernama Gregor Samsa. Ketika akhirnya Gregor Samsa yang sudah berubah wujud itu mati, mereka merayakannya. Gila!

Inilah pergumulan pemikiran modern yang menjadi esensi karya ini sampai dikatakan fenomenal dan mengugah hati pembaca. Dikatakan demikian karena lewat karyanya Kafka menelanjangi kemanusiaan kita. Bahwa kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang egois, yang serba terbatas dan penuh pamrih, kemanusiaan yang bengis pada manusia lain (disimbolkan menjadi hewan) yang bisa jadi itu bukan salahnya. Bukankah bila tak suka pada orang lain, seringkali kita caci-maki dia dengan segala hinaan “kebinatangan”? Hewan hampir selalu kita anggap rendah, padahal belum tentu kejiwaan manusia itu jauh lebih baik dari hewan.

Soal hewan dan manusia ini, satu kali pernah ditulis Kafka pada temannya, Gustav Janouch: “…binatang dengan kita sebagai manusia itu hubungannya lebih dekat. Inilah terali penjara. Justru hubungan dengan sesama manusia menjauh, sebaliknya hubungan dengan binatang lebih mudah. Setiap manusia hidup dalam penjara. Dia harus paham lingkungannya, sebab itu sekarang banyak orang menulis tentang binatang. Ini sebagai bukti ada semacam kerinduan pada kehidupan yang bebas dan kehidupan di alam. Manusia terlalu banyak mengeluh, sehingga fantasinya perlu pembebasan diri.” Dan seperti itulah cara aku membaca karyanya ini.

Bahwa sebenarnya pada akhirnya kita tidak perlu merasa kasihan pada Gregor Samsa karena justru ialah yang “insan yang bebas” sedang keluarganya mulai dari ayah, ibu, dan Grete adiknya adalah insan-insan yang terpenjara dalam kemanusiaan. Manusia Gregor sampai akhir hayatnya terus menyatakan ketulusan cintanya pada keluarga, sedang manusia lain justru semakin lemah cintanya dan menyatakan keegoisannya.

Satu-satunya yang lemah dari buku ini adalah proses penerjemahannya. Semula aku cukup bahagia dengan cara Juni Liem mengawali dengan mulus penerjemahan kata pembuka buku cerita ini, tapi mulai dari tengah buku sampai akhir mungkin karena diburu-buru waktu dan tidak ketatnya editor bekerja, proses penerjemahannya banyak salah dan tidak nyaman untuk dibaca sama sekali.

4/5

Tinggalkan komentar