Ciung Wanara dari Ranah Sunda

Ciung Wanara
Karya Ajip Rosidi

Terbit 1977 oleh Gunung Agung | Cetakan pertama: 1961 | Binding: Paperback | Halaman: 122 | Karakter: Prabu Barma Wijaya, Dewi Pangrenyep, Pohaci Naganingrum, Ciung Wanara

Judul lengkapnya: Ciung Wanara: Sebuah Cerita Pantun Sunda
Ilustrasi oleh Oesman Effendi

CERITA Ciung Wanara — apa cerita ini masih dikenal orang? Wallahua’lam. Tapi niatan Ki “Sunda” Ajip Rosidi ini, untuk melahirkan kembali cerita pantun Sunda ke dalam bahasa Indonesia dalam gaya bebas patut diacungi jempol.

Ceritanya sendiri cukup apik. Alkisah Prabu Barma Wijaya dari kerajaan Galuh mempunyai dua orang permaisuri yagn secara kebetulan sama-sama hamil. Sudah takdirnya, permaisuri kedua Dewi Pangrenyep melahirkan lebih dulu seorang putra. Sedangkan permaisuri pertama Pohaci Naganingrum baru melahirkan setelah kandungannya berusia 12 bulan.

Karena tamak dan takut kedudukannya tergeser bila permaisuri pertama melahirkan seorang putera, Dewi Pangrenyep yang membantu Pohaci Naganingrum bersalin menukar bayi yang dilahirkan Pohaci dengan seekor anak anjing. Sedang bayi asli, yang kelak bernama Ciung Wanara yang diambil dari nama burung (ciung) dan monyet (wanara), dihanyutkan ke sungai Citanduy dalam kandaga (kotak kayu untuk perhiasan) bersama sebuah telur ayam.

Bayi itu hanyut hingga akhirnya ditemukan oleh suami istri penangkap ikan Aki & Nini Blangantran, yang kebetulan tidak punya anak. Makin lama makin besar dan menjadi pemuda tampan. Sedang telur ayam itu menetas dan jadi ayam jago unggulan. Berkat ayam jagonya yang selalu menang pertarungan, Ciung Wanara akhirnya bisa bertemu kembali dengan ayah bundanya dan dapat menduduki tahta kerajaan Galuh. Sedang anak Pangrenyep, Harian Banga yang tidak suka pada kenyataan itu, mengajak tarung Ciung Wanara. Tapi karena kekuatan Ciung Wanara sedikit di atasnya, Harian Banga terdesak semakin ke timur. Akhirnya Ciung Wanara memerintah kerajaan Galuh sebelah barat yang suka musikpantun dan cerita pantun, sedang Harian Banga memerintah kerajaan Galuh sebelah timur yang lebih suka wayangkulit.

Konon, Ajip Rosidi terburu-buru menuliskan cerita pantun ini karena waktu itu honor menulisnya diperlukan oleh anak Ajip, Olla, yang saat itu mau menikah. Ajip menulis kisah ini selama tinggal di Sumedang sekitar tahun 1959, sekarang Ki “Sunda” Ajip Rosidi (yang pernah ganti nama pakai Ayiep Rosshidy) tinggal di Pabelan, Muntilan Jawa Tengah.

Dari cerita itu, pembaca bisa berandai-andai. Seandainya Raja Galuh Prabu Barma Wijaya hanya beristri satu, pasti kisah sedih Ciung Wanara tidak akan terjadi. Lalu, berhati-hatilah dengan kekuasaan, karena kekuasaan bisa mengubah perilaku seseorang. Semula kedua istri Raja Galuh itu rukun-rukun saja, namun ketika sudah tergoda tahta, Pangrenyep membuang anak Naganingrum ke sungai.

Sebetulnya, cerita-cerita ini dikatakan apik karena kental pelajaran moralnya. Bila dibandingkan dengan cerita-cerita lain, boleh dikategorikan alurnya biasa saja, tetapi karya ini menjadi istimewa justru karena serba sederhana dan biasa, hidup yang riil, nyata, wajar, tidak dibikin-bikin, tidak berkedok.

5/5

Tinggalkan komentar